Wisanggeni berarti bisanya api. berasal dari wisa = bisa dan geni =  api. Tak peduli siapapun pasti dibakarnya. Musuh atau sodara, teman atau  tetangga, kriteriannya hanya satu, yang dibicarakan adalah kebenaran,  dan kebatilan adalah musuhnya.
 
Kelahiran Wisanggeni dalam jagad pewayangan adalah diluar kehendak dewa. Sebab Wisanggeni adalah manusia edan dalam arti yang sebenarnya. Wong edan ngomong kebenaran bukan pada tempatnya. Wong edan tidak peduli suasana dan siapa yang dihadapi. Wong edan tidak mengenal takut. Dan keedanan Wisanggeni tidak lebih dari ketakutan para dewa akan tuah yang dibawa.
 Kelahiran Wisanggeni dalam jagad pewayangan adalah diluar kehendak dewa. Sebab Wisanggeni adalah manusia edan dalam arti yang sebenarnya. Wong edan ngomong kebenaran bukan pada tempatnya. Wong edan tidak peduli suasana dan siapa yang dihadapi. Wong edan tidak mengenal takut. Dan keedanan Wisanggeni tidak lebih dari ketakutan para dewa akan tuah yang dibawa.
 =====
  Dalam wiracarita Mahabharata, Wisanggeni adalah anak Arjuna dari Dewi  Dresanala. Ia lahir karena Dresanala bersikukuh tidak menggugurkan  kandungannya seperti tujuh bidadari yang juga hamil karena sebagai  anugerah Dewa kepada Arjuna yang telah membebaskan kahyangan dari  raksasa Niwatakawaca karena menginginkan Dewi Supraba.
  Pada saat lahirnya, Wisanggeni membuat ontran-ontran di Kahyangan  karena hendak dibunuh oleh kakeknya Batara Brama atas perintah Sang  Hyang Giri Nata atau Batara Guru karena lahirnya Wisanggeni dianggap  menyalahi kodrat. Tapi karena Wisanggeni adalah titisan Sang Hyang  Wenang, dia luput dari bala tersebut.
  Wisanggeni tumbuh dibesarkan oleh Batara Baruna (Dewa Penguasa  Lauatan) dan Hyang Antaboga (Rajanya Ular yang tinggal di dasar bumi),  yang menjadikan Wisanggeni punya kemampuan yang luar biasa. Di jagat  pewayangan, dia bisa terbang seperti Gatotkaca dan masuk ke bumi seperti  Antareja dan hidup di laut seperti Antasena.
  Wisanggeni tinggal di Kahyangan Daksinapati bersama ibunya. Dan  meninggal menjelang perang Bharatayuddha bersama Antasena atas  permintaan Batara Kresna sebagai tumbal untuk kemenangan Pandawa atas  perang tersebut.
  Karakter Wisanggeni adalah mungkak kromo (tidak menggunakan bahasa  kromo ketika bicara dengan siapapun) seperti halnya Bima. Dan dia punya  kemampuan Weruh sadurungin winarah (mampu melihat hal yang belum  terjadi).
  =====
  Syahdan lahirlah Bambang Wisanggeni di pertapaan Kendalisada, tempat Resi Mayangkara…
Dia berwajah tampan dan digariskan berwatak sahaja.
 Dia berwajah tampan dan digariskan berwatak sahaja.
 Lalu, bagaimanakah isi hati Wisanggeni? yang kelahirannya dituding  menyelahi kodrat, sehingga Bethara Brama, sang kakek pun tega hendak  mengambil nyawa nya.
  Siapakah yang hendak dipersalahkan? Apakah ibu Dresanala? Perempuan  dewi yang semata-mata memberi penghargaan tinggi kepada hidup jabang  bayi Wisanggeni, sehingga bersikukuh menolak untuk menggugurkan  kandungannya. Ataukah Sang Mintaraga atau Arjuna yang menanam benih di  rahim ketujuh Dewi Kahyangan sebagai anugerah dari Sang Hyang Manikmaya,  karena jasanya membebaskan kahyangan dari Prabu Winatakaca yang  menginginkan Dewi Supraba?
  Tiada yang berani menghakimi, namun bentuk kesalahan kodrat itulah  yang harus dibinasakan, meski akhirnya gagal karena Wisanggengi dalam  lindungan Sang Hyang Wenang.
 Barangkali luka di hati yang tetap berakar menjadi energi yang menjadikannya satria berkemampuan luar biasa. Di bawah asuhan Sang Hyang Antaboga dan Bethara Baruna, Wisanggeni sanggup terbang layaknya Gatutkaca, ambles bumi seperti Antareja, dan berkubang tenang di lautan menandingi Antasena.
 Satria Pandhawa yang mempunyai sifat mungkak kromo atau tidak mau  berbahasa halus pada siapapun termasuk pada Sang Bethara Guru ini tiada  tandingan dan tiada yang mampu melawan. Seringkali dicap sebagai “wong  edan” karena tak mempan senjata apapun di dunia ini. Barangkali karena  itulah, kematiannya dikehendaki seluruh dewa-dewa di kahyangan, dimana  tekad baja dan semangat kekuatan luar biasanya kelak akan dapat  membinasakan Pandhawa yang menang atas Kurawa.
  Meski ia termasuk golongan weruh sakdurunge winarah (mampu melihat  sebelum terjadi), tetap juga Wisanggeni menjalani takdirnya kemudian:  Menjadi tumbal kemenangan Pandhawa. Sang satria Wisanggeni mati di  tangan Bala Kurawa dengan legowo.
  Entah semiris apa kidung Megatruh yang ditiupkan saat Wisanggeni  meregang nyawa, memenuhi permintaan para dewa di kaendran Jonggring  Saloka yang dititahkan pada Kresna, sebagai prasyarat kemenangan  Pandhawa. Jasadnya moksa sesuai kehendak Sang Hyang Wenang.
  Kahyangan Daksinapati tempat Dewi Dresanala mengasuh dan membuai  Wisanggeni menangis.. menangis.. meratapi takdir yang pada akhirnya  tetap terjadi…
 