Kebaikan Kurawa

Hampir tiap orang pasti mengetahui kisah Baratayudha dan dapat menjawab pertanyaan “Bagaimana watak Kurawa?” dan pasti 100% akan menjawab jahat, buruk, jelek, liar dan sebagainya. Lalu apakah itu berarti bahwa orang yang berwatak Kurawa penjahat? Apakah saat kita berlaku seperti Kurawa disebut jahat? Ada pendapat bahwa baik dan buruk itu masalah moral, tapi ada pendapat lain bahwa baik dan jahat tergantung pada tujuan dan maksud serta hasil akhir yang terjadi. Mungkinkah pada diri Kurawa, walau sedikit, terselip hal-hal baik?

Kurawa adalah anak 100 bersaudara dari Prabu Destarata yang buta dengan Dewi Gendari. Mereka lahir di negeri Hastina, tepatnya di istana Hastinapura dan merupakan saudara Pandawa. Dalam kisah pewayangan, tokoh Kurawa memiliki sifat buruk, jahat dan tidak pantas ditiru. Namun ternyata, di sisi lain Kurawa memiliki perilaku yang patut dicontoh; antara lain: 
      Duryudana, anak sulung dari Kurawa yang sangat bertanggung jawab terhadap adik-adiknya. Ia sudah harus berfikir dewasa pada saat usianya sebagai anak-anak. Ia harus tersadar bahwa ia memiliki adik berjumlah 99. Dan pada saat yang sama ia juga tersadar bahwa ayahnya memiliki keterbatasan tidak mampu melihat. Sementara ibunya, Gendari, seolah tidak peduli pada kehadiran anak-anaknya. Gendari terlalu sibuk dengan rasa kecewa akan hidupnya, marah dan benci atas takdir yang terjadi padanya. Durudana harus memikul tanggung jawab atas keberadaan adik-adiknya yang tak tersentuh sedikitpun pendidikan budi pekerti. Hingga menginjak usia dewasapun ia masih merasa bertanggung jawab pada masa depan adik-adiknya. Dasar kecintaan dan tanggung jawab terhadap adik-adiknya diterjemahkannya sebagai upaya agar adik-adiknya dapat memiliki harta dan tahta untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ia juga berharap dapat menjadikan mereka ksatria terhormat. Sungguh upaya kakak yang berkeinginan mulia.
Dursasana, adik yang patuh, suatu kebiasaan yang mungkin kebanyakan tidak banyak yang tahu. Seolah dia sadar bahwa seluruh hidupnya diambil tanggung jawabnya oleh Duryudana. Dia seperti memiliki kepekaan betapa kakaknya selalu melindungi dan membelanya lalu Dursasana begiti patuh dan setia pada kakaknya, Duryudana. Tidak ada sedikitpun dalam kisah hidupnya, ia melawan kehendak kakaknya, Duryudana. Ia selalu mendahulukan kakaknya atas kesenangan lebih dulu, salah satu contohnya ketika para Kurawa bersenang-senang di taman istana sedangkan Duryudana menyendiri adalah Dursasana yang menghampiri dan mengambilkan sekeranjang buah. Begitulah Dursasana begitu lugu, tapi keluguannya pada lingkungan tanpa perhatian dan kasih sayang orang tua.
Citraksa-Citraksi, kurawa yang sopan. Orang yang tidak tahu pastilah menganggap mereka kembar. Hampir tidak ada yang membedakan kecuali cara berbicara, Citraksa berbicara dengan normal sedangkan Citraksi berbicara gagap. Ketika Resi Drona dijamu oleh Resi Bisma adalah Citraksa dan Citraksi, yang tidak mengenal Resi Drona, bakal muridnya yang menyambutnya. Citraksa dan Citraksi menghampiri Drona kemudian memberi hormat lalu menjabat tangan Drona dan mencium tangannya. Walaupun mereka tidak tahu itu adalag bakal guru mereka, mereka tetap santun dalam bertutur. Hal itu merupakan suatu kesopanan yang dilakukan oleh anggota Kurawa.
  Kartamarma, anggota Kurawa yang gemar nginum ini bersahabatkan Aswatama, putra Resi Drona. Mereka hampir selalu muncul bersamaan, dimana ada Kartamarma pasti ada Aswatama. Beberapa tahun setelah persahabatannya dengan Aswatama, Kartamarma menjadi menantu di kerajaan kecil selatan Hastinapura, kerajaan Banyutinilang. Tak berapa setelah itu, ia diminta menggantikan tahta mertuanya. Negeri yang walau kecil itu, kehidupan penduduknya cukup makmur. Kartamarma-pun cukup dihormati dan hidup tentram di Banyutinalang.
  Dursilawati, satu-satunya perempuan dari 100 kurawa, sementara saudaranya kesemuanya laki-laki. Dursilawati merasa sendiri, tak ada teman sebaya perempuan, sebgian besar saudaranya tidak menghiraukannya. Semasa kecil, ingin sekali Dursilawati menghabiskan waktu bersama sang ibu, Gendari, tapi Gendari seolah tidak menghiraukannya. Ia juga ingin mendekati ayahnya yang selalu menyendiri namun ia takut. Dursilawati menikah dengan Prabu Arya Tirtanata yang lebih dikenal sebagai Jayadrata. Suatu ketika Dursilawati harus merelakan suaminya berangkat ke padang Kurusetra. Dalam peperangan, Jayadrata mati di tangan Bima. Beberapa bulan kemudian, berita kematiannya sampai di telinga Dursilawati di negeri Sindu. Ia perempuan yang sangat tegar, berita kematian suaminya tidak juga meluruhkan air matanya. Seakan air matanya telah terlalu kering terkuras dengan perlakuan orang tuanya saat kecil yang membuat hatinya membatu. Dan hatinya memang begitu luhur, ia tidak mengajarkan dendam kepada anak-anaknya. Bahkan ia memprakarsai silaturahmi anak-anaknya dengan keluarga Pandawa.
      Yuyutsu, salah satu saudara Kurawa yang mau belajar untuk melihat kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya serta berusaha untuk berubah. Sekian lama ia merasa bahwa apa yang terjadi di lingkungan Hastina melawan hati nuraninya. Dan saat terusirnya Pandawa dari Hastinapura, membuatnya berani menghadapi Duryudana yang selama ini ditakuti untuk mengutarakan ketidaksetujuannya. Namun kakaknya tetap keras kepala dan akhirnya Yuyutsu mundur lalu pergi keluar istana untuk menenangkan diri. Sesampainya di perbatasan sebelah barat Cempalareja, ia dijamu oleh saudaranya, Durmuka dan Drestaketi. Mereka berdua tinggal di situ, di sebuah gubug. Mereka meninggalkan Hastinapura karena mereka tidak setuju dengan Duryudana dan Sangkuni, pamannya, yang bersikap aniaya dan selalu memfitnah Pandawa. Adalah Yuyutsu yang berpendirian sama dengan mereka, yang kemudian sering mengunjungi mereka untuk mencurahkan isi hatinya dan bertukar pikiran. Durmuka dan Drestaketiadalah 2 dari sekian banyak Kurawa, yang tidak melibatkan diri secara langsung pada kancah perang Baratayudha. Selama Baratayudha, mereka menjalani hidup di gubug seperti biasa. Ketika Baratayudha usai dan Pandawa kembali menduduki Hastinapura, tersebar pengumuman agar seluruh Kurawa yang tersisa menyerahkan diri atau akan diburu dan ditangkap. Durmuka dan Drestaketi secara sukarela menyerahkan diri ke Hastinapura, adalah sikap seorang ksatria terhormat. Mereka menjadi tawanan beberapa hari dan kemudian diampuni Yudistira serta diperbolehkan kembali ke gubug. Mereka menjalani keseharian mereka di desa itu hingga akhir hayat. Yuyutsu yang melarikan diri dari perangpun, ia sukarela berangkat ke Hastinapura untuk menyerahkan diri. Setibanya di depan gapura, ia berhenti sejenak untuk membaca daftar nama-nama Kurawa yang diperkirakan masih hidup dengan seksama. Namun namanya tidak tertera pada daftar, ia dianggap mati. Diapun memutuskan untuk kembali ke tempat tinggalnya di sebuah pegunungan terpencil. Disana ia mendirikan padepokan silat sederhana, melatih penduduk di desa itu. Dia mengakhiri jalan hidupnya dengan bertapa di puncak gunung hingga ia menghembuskan nafas terakhir dalam posisi yang masih duduk bersila dan tangan bersedaku.
“What you see is not what you see”, sebuah kata bijak yang dapat digunakan untuk menilai Kurawa. Agar kita bisa belajar untuk mengerti bahwa yang tampaknya jahat, bisa saja mnyimpan suatu kebaikan yang tidak diketahui. Dan tidak selamanya orang jahat tidak memiliki kebaikan di sisi-sisi yang lain dalam kehidupannya.
Kebaikan Kurawa
Amrih, Pitoyo
2007,Yogyakarta: Pinus
Lebih baru Lebih lama