KANGSADEWA, sering pula disebut Kangsa sesungguhnya putra Prabu Gorawangsa,  raja raksasa negara Gowabarong yang beralih rupa menjadi Prabu Basudewa  dan berhasil bermain asmara dengan Dewi Mahira/Maerah (Jawa),  permaisuri Prabu Basudewa, raja Mandura. 
 Kangsadewa lahir di negara Bombawirayang, dan sejak kecil hidup dalam asuhan ditya Suratrimantra, adik Prabu Gorawangsa.
 Setelah remaja, oleh Suratrimantra, Kangsa dibawa ke negara Mandura untuk menuntut haknya sebagai putra Prabu Basudewa.
 
  
 Karena sangat sakti, Prabu Basudewa akkhirnya bersedia mengakui Kangsa sebagi putranya dan diberi kedudukan Adipati di Kesatrian Sengkapura Kangsa berwatak angkara murka, ingin menangnya sendiri, penghianat, keras hati, berani dan selalu menurutkan kata hatinya.
Dengan dukungan Suratimantra, pamannya yang sakti, Kangsa berniat merebut tahta kekuasaan negara Mandura dari tangan Prabu Basudewa. Pemberontakan Kangsa gagal.
Ia mati terbunuh dalam peperangan melawan Kakrasana dan Narayana, putra Prabu Basudewa dari permaisuri Dewi Mahendra/Maekah (Jawa). Sedangkan Suratimatra tewas melawan Bima/Werkudara, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti.
 RADEN KANGSA
  Raden Kangsa anak raja raksasa, Prabu Gorawangsa. Prabu ini  berkenalan secara berobah rupa menjadi Prabu Basudewa dengan Dewi  Maerah, permaisuri Prabu Basudewa, hingga mengandunglah sang permaisuri  itu.
  Waktu Kangsa masih di dalam kandungan, ibu Kangsa, Dewi Maerah, atas  titah Basudewa dibuang ke hutan dan dijaga oleh raksasa Suratimantra,  seorang kepercayaan Gorawangsa.
  Setelah Kangsa lahir, Ia diasuh oleh Suratimantra dan setelah dewasa,  ia datang ke Madura dan meminta negara itu. Karena kesaktiannya Kangsa  berhasil mendapatkan dan menguasai Madura. Para putra Basudewa,  Kakrasana dan Nayarana dapat dikalahkannya, sehingga kedua saudara itu  terpaksa harus disembunyikan.
  Kangsa mengetahui hal tersebut dan berusaha untuk menewaskan kedua  saudara itu dengan jalan mengadakan pertandingan. Suratimantra  mengajukan Kangsa sebagai jagonya. Dengan cara demikian Kangsa  sebenarnya ingin mengetahui, di mana sebenarnya kedua putla Basudewa itu  bersembunyi.
  Pada kesempatan itu Bratasena, saudara Pendawa yang kedua masuk  gelanggang dengan menggunakan nama Jagalabilawa dan bertanding dengan  Suratirnantra. Suratimantra tewas dalam pertandingan ini.
  Sementara pertandingan berlangsung, Kangsa terus menyelidiki tempat  persembunyian. Sebaliknya kedua putra itu terus saja mengawasi Kangsa.  Kemudian mereka menyerang Kangsa, hingga Kangsa menemui ajalnya.
  Kangsa bermata plelengan putih, berhidung dempak, bercaling, hal mana  menandakan, bahwa ia adalah sebangsa raksasa. Berjamang tiga susun,  bersunting waderan, bersanggui demlik kadal menek, dihias dengan garuda  membelakang. Sebagian rambutnya terurai gimbal, menandakan, bahwa ia  sebangsa ksatria juga. Secara lahir ia adalah putra Prabu Basuaewa.
  Kerusakan negaa Madura pada masa itu tak terhingga. Para putra  Basudewa, Kakrasana, Nayarana, dan Rara Ireng terlantar. Hidup ketiga  putra raja itu terus saja bersembunyi dan terus saja pula dicari oleh  Kangsa. Bagaimanapun baiknya persembunyian mereka, akhirnya diketahui  juga oleh Kangsa, hingga terpaksalah Rara Ireng dilarikan oleh Nyai  Segopi, istri Antagopa.
  Setelah terdengar hal ini oleh Kangsa, dikejar-kejarlah Rara Ireng  oleh penggawa raksasa Kangsa. Setelah terkejar, menipulah Rara Ireng  dengan kata-kata: Kelak, kalau Rara Ireng mendapat anak dari raksasa  itu, anak itu akan dibelikan anak kuda, dicukur gombak dan dinaikkan  kuda itu.
  Karena mendengar kata-kata itu, menjadi gilalah sang raksasa dan mulai mengigau tak karuan, tak ada pangkal dan ujungnya. Dan Rara Ireng pun akhirnya dapat melepaskan diri dari mara bahaya.
  Menurut kepercayaan, peristiwa Kangsa terjadinya di Juwana, sehingga  penduduk tempat itu tak berani memainkan wayang lakon Kangsa, sebab  selagi lakon dimainkan akan naiklah buaya-buaya dari sungai dan menuju  tempat keramaian untuk menghadap pujaan mereka, Raden Kangsa. Dan  bengawan yang bernama Silugangga letaknya di dekat desa Widarakandang,  di mana terdapat sebatang pohon Widara yang dipagari; Maka pohon itu pun  dinamakan Widarakandang.
  Kepercayaan orang Jawa mengenai wayang sangat mendalamnya, sehingga  memperkuat dugaan, bahwa jaman Purwa terdapat di Tanah Jawa. Adanya  petilasan-petilasan, tempat-tempat bersejarah mudah mempengaruhi  masyarakat untuk menghidup-hidupkan kepercayaan dan takhayul.
  Kabar bohong dalam banyak hal dibikin lebih bohong lagi. Ambilah  misalnya kabar tentang adanya seekor ular yang dikurung orang di suatu  tempat. Banyak orang pada datang menonton ke situ. Ketika seseorang,  sekembalinya menonton ditanya, apakah benar, bahwa ularnya bersisik uang  rupiah, ia pun pasti menjawab, bahwa ularnya bukan bersisik uang  rupiah, malainkan uang ringgit.
  Selanjutnya warta bohong itu sambung-menyambung, tanpa merugikan siapa pun.
  Ada juga perbuatan yang tak kurang menimbulkan kerugian, seperti  misalnya pada seseorang yang berkunjung pada suatu tempat keramat dan  sewaktu hendak pulang ditegur, apakah ia takkan mengadakan selamatan dan  kalau berniat mengadakannya, supaya memberi uang kepadanya, agar ia  dapat menyelenggarakan selamatan itu.
  Ada pula kejadian yang agak jenaka. Penulis pernah berziarah ke  sebuah makam keramat. Penjaga makam mengatakan, bahwa makam yang penulis  kunjungi adalah makam Kyai Satim yang semasa hidupnya gemar mengisap  candu dan penulis pun diminta, supaya memberi candu kepada almarhum.
  Tanya penulis: “Apakah candunya nanti disajikan?”
  Jawabnya: “Memang begitu dan sesudah disajkan, lenyaplah nanti rasa candunya.”
  Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982
  Lakon yang melibatkan Kangsa :
  