Arimba Gugur - Banyak orang tidak percaya Prabu Baka atau Prabu Dwaka telah gugur.  Lalu siapa yang berani melawannya, bahkan sampai berhasil mengalahkan  dan membunuhnya? Kalau ia manusia pastilah ia bukan manusia biasa,  tetapi manusia keturunan dewa. Atau malah mungkin ia seorang dewa yang  menyamar jadi manusia?. Untuk memastikan kebenaran kabar itu,  orang-orang berduyun-duyun menuju Padepokan Giripurwa.
 
Sesampainya di Giripurwa orang banyak telah lebih dahulu berada di sana. Kedatangnya mereka selain untuk memastikan kebenaran tentang gugurnya Raja pemakan manusia itu, mereka juga ingin melihat dari dekat kesatria yang telah berhasil membunuh Prabu Dwaka.
 Sesampainya di Giripurwa orang banyak telah lebih dahulu berada di sana. Kedatangnya mereka selain untuk memastikan kebenaran tentang gugurnya Raja pemakan manusia itu, mereka juga ingin melihat dari dekat kesatria yang telah berhasil membunuh Prabu Dwaka.
  Selama sepekan, terhitung sejak gugurnya Prabu Dwaka, pada setiap  harinya padepokan Giripurwa dibanjiri oleh orang-orang dari berbagai  penjuru negeri Ekacakra. Ekspresi kelegaan dan sukacita memancar dari  wajah mereka. Bimasena menadat ucapan terimakasih krena keberhasilannya  menyingkirkan angkaramurka yang menjadi sumber kecemasan dan ketakutan.
  Setelah semua menjadi reda, suasana kembali normal, bahkan  ketentraman dan kedamaian mulai dirasakan, Ibu Kunthi dan kelima anaknya  berpamitan kepada resi Hijrapa, meninggalkan Giripurwa. Tidak lupa  mereka juga berpamitan kepada Lurah Desa Kabayakan, Kyai Sagotra dan  Rara Winihan, beserta seluruh warganya.
  Rasa haru meremas kalbu. Tak kuasa mereka menahan tetesan air mata  dari bola-bola mata yang bening bersahaja. Sesungguhnya mereka  mengharapakan para kesatria Pandhawa dan Ibu Kunthi yang luhur budi agar  berkenan tinggal untuk memimpin negeri. Mereka merindukan sosok  pemimpin yang sepi ing pamrih, rame ing gawe. Pemimpin yang mengayomi  dan mencintai rakyatnya. Namun tangan-tangan mereka tak kuasa  menahannya. Lambaian tangan mengantar kepergian Kunthi dan Pandhawa.
  Walaupun setelah membelok di sudut desa, Kunthi dan Pandhawa sudah  tidak nampak lagi, mata hati mereka justru semakin jelas memandang  ketulusan hati yang telah dikorbankan oleh Ibu Kunthi dan anak-anaknya.
  Kunthi, Puntadewa, Bimasena, Arjuna dan sikembar Nakula Sadewa telah  jauh meninggalkan Padepokan Giripurwa. Mereka tidak ingin kembali ke  Hastinapura. Peristiwa Bale Sigala-gala telah membuat mereka trauma.  Walaupun ketika tinggal di kahyangan Saptapertala, Kunthi telah berusaha  agar Sadewa dan Nakula dapat melupakan peristiwa yang mengerikan di  Bale Sigala-gala, hingga saat ini si kembar belum mau memasuki bumi  Hastina
  Oleh karenya Kunthi dan kelima anaknya bertekad hidup seperti  layaknya seorang Brahmana yang sedang menjalani laku tapa, berjalan  tanpa tujuan, masuk keluar hutan dalam waktu yang tak terbatas. Mereka  menggunakan pakaian dari kulit binatang, memakan buah-buahan dan  akar-akaran yang ditemuinya di hutan.
  Siang malam Bima dan Arjuna selalu waspada menjaga ibu dan  saudara-saudaranya dari serangan binatang buas dan juga raksasa hutan.
  Kabar gugurnya Prabu Dwaka terdengar jauh sampai di negara  Pringgandani. Prabu Arimba raja Pringgandani yang bermuka raksasa ini  masih terhitung sahabatnya Prabu Baka, terbakar hatinya mendengar kabar  tersebut. Ia mengutus Arimbi adiknya, yang bermuka raseksi, untuk  mencari tahu siapkah orang yang telah membunuh Prabu Dwaka. Jika sudah  ketemu, Arimbi diberi kuasa untuk membunuhnya. “Namun jika kamu tidak  dapat membunuhnya, segeralah pulang ke Pringgandani, biar aku sendiri  yang akan membunuhnya.” kata Prabu Arima kepada Arimbi adiknya.
  Saat itu juga Arimbi, meninggalkan Negara Pringgandani sendirian,  menuju Negara Ekacakra. Sesampainya di Ekacakra ia mendapat keterangan  untuk menuju ke Padepokan Giripurwa. Namun sesampainya di Giripurwa,  yang dicari sudah tidak ada. Arimbi kecewa. Ia kemudian mencari  keterangan mengenai ciri-ciri orang yang telah membunuh Prabu Dwaka
  Setelah mendapat keterangan cukup jelas dari salah seorang warga Desa  Kabayakan, mengenai ciri-ciri kesatria yang telah membunuh Prabu Dwaka,  Arimbi segera mencari keberadaannya. Berkat pengalamannya dan daya  penciumannya yang tajam Arimbi tidak kesulitan menemukan jejaknya.
  Di Hutan Waranawata Kunthi dan kelima anaknya berada. Dan Arimbi  telah menemukannya. Arimbi mengamati mereka dari balik lebatnya  pepohonan. Menurut ciri-ciri yang disampaikan oleh warga Desa Kabayakan,  sungguh benarlah bahwa keenam orang itu adalah Kunthi dan ke lima  anaknya. Salah satu diantara anak Kunthi, adalah pembunuh Prabu Dwaka.  Namanya Bimasena. orangnya tinggi perkasa.
  Arimbi mengarahkan pengamatannya kepada orang yang dimaksud. Namun  ketika ia melihat Bimasena, hatinya berdesir. Ada gelombang magnet yang  luar biasa besar, yang menarik-narik hatinya. Arimbi tak kuasa menahan  gejolak itu. Pada pandangan pertama, hati Arimbi telah tertambat kepada  sosok perkasa yang mempesona.
  Terdorong oleh hasratnya yang tak mungkin dibendung, Arimbi bergerak  ringan menghampiri Bimasena yang sedang duduk bersama Ibunda Kunthi.  Keduanya terkejut, terlebih Bima, yang tidak tahu dari mana arah  datangnya, tiba-tiba ada sosok raseksi bersimpuh dihadapannya.
  Sesampainya di depan Kunthi dan Bima, Arimbi menjadi lupa tujuan  semula, untuk membuat perhitungan dengan orang yang membunuh Prabu  Dwaka. Ketika mata Arimbi menatap Bima dari jarak dekat, ia terkena  panah asmara, yang lepas dengan sendirinya dari pribadi mempesona.  Kunthi menyapa dengan lembut, apa maksud kedatangannya? Arimbi tidak  segera dapat menjawab pertanyaan Kunthi. memang pada semula ia bermaksud  membuat perhitungan dengan orang yang telah membunuh Prabu Dwaka. Namun  kenyataannya Arimbi tidak berdaya setelah menemukan orang yang  dimaksud. Bahkan ia dengan terus terang menyatakan jatuh cinta kepada  Bimasena. Kunthi tersenyum lembut. Ia memahami hati seorang wanita yang  lebih mengutamakan perasaannya dibandingkan dengan pikirannya.
  Arimbi yang diutus oleh Prabu Arimba raja Pringgandani, untuk mencari  pembunuh Prabu Dwaka, telah menemukan orangnya di Hutan Waranawata,  yang bernama Bimasena Dengan tidak terduga pula, ternyata Bimasena  adalah anak Pandhudewanata, raja Hastinapura yang telah membunuh ayah  Arimbi yang bernama Prabu Tremboko, raja Hastinapura sebelum Prabu  Arimba..
 
Namun hal tersebut tidaklah mampu menyulut dendam dan kebencian Arimbi kepada Bimasena. Karena Arimbi telah terkena panah asmara, yang lepas dengan sendirinya dari pribadi mempesona sang Bimasena. Arimbi menjadi lupa tujuan semula, untuk membuat perhitungan dengan orang yang membunuh Prabu Dwaka..
 Namun hal tersebut tidaklah mampu menyulut dendam dan kebencian Arimbi kepada Bimasena. Karena Arimbi telah terkena panah asmara, yang lepas dengan sendirinya dari pribadi mempesona sang Bimasena. Arimbi menjadi lupa tujuan semula, untuk membuat perhitungan dengan orang yang membunuh Prabu Dwaka..
 Arimbi, yang adalah seorang rasaksa wanita, mempunyai postur yang  tinggi besar, melebihi postur wanita pada umumnya, wanita biasa yang  bukan raseksi, sangatlah mendambakan sosok tinggi besar dan gagah  perkasa. Apalagi sosok tinggi besar dan gagah perkasa tersebut bukan  dari golongan raksasa, tetapi dari golongan kesatria seperti halnya  Bimasean. Tentu saja Arimbi terpana.
  Sebagai seorang raseksi, Arimbi tidak sungkan-sungkan menyatakan  gejolak hatinya yang meluap-luap, di depan Ibu Kunthi dan Bimasena,  bahwa ia telah jatuh cinta kepada Bimasena pada pandangan pertamanya.  Kunthi menanggapi pernyataan Arimbi, dengan senyum dan kelembutan. Namun  Bima justru merasa risih dan tidak senang, sembari menggerutu, dasar  raseksi, tidak tahu diri.
  Atas sikap Bimasena tersebut, Arimbi menangis, memohon pertolongan  Kunthi, agar Bimasena mau memperisterinya. Kunthi tidak dapat berbuat  apa-apa. Karena pada dasarnya semuanya itu bergantung kepada Bimasena  yang menjalaninya. Namun Kunthi menyarankan agar Arimbi mau bersabar.
  Arimbi tidak sakit hati ditolak Bimasena. Ia justru semakin mengagumi  sosok Bima yang jujur dan tegas. Panah Asmara yang tidak pernah  dilepaskan Bimasena kepada Arimbi, pada kenyatanya telah menembus sangat  dalam di lubuk hati Arimbi. Ajaib memang. Cinta membuat segalanya baru.  Pandangan Arimbi terhadap Bimasena berubah seratus delapan puluh  derajat. Dari musuh menjadi orang yang digandrunginya.
  Walaupun Bimasena tidak pernah mempedulikannya, bahkan tidak senang,  Arimbi tetap saja mengikuti kemana Bima dan keluarganya pergi. Nasihat  Kunthi agar bersabar, menjadi kekuatan bagi Arimbi untuk bertahan dalam  menyalakan api cintanya kepada Bimasena. Karena ia menyakini, dibalik  kesabaran yang dijalaninya dengan tulus, ada sebuah harapan. Harapan  bahwa jika tiba pada waktunya, ia dapat bersanding dengan pujaan  hatinya. Saat itulah dapat diibaratkan seperti rumput kering yang  mendamba siraman air hujan, untuk tumbuh menghijau.
  Hingga sampai hitungan bulan, Bima tidak menampakkan perubahan sikap  kepada Arimbi. Bahkan Bima semakin merasa risih terhadap tingkah laku  Arimbi yang ditujukan kepada dirinya dan juga kepada keluarganya. Namun  tidaklah demikian dengan Ibunda Kunthi. Kunthi justru merasa iba kepada  Arimbi, yang tidak hanya mengikutki kemana Pandhawa pergi, tetapi juga  selalu membantu, melayani dan menyediakan apa saja yang menjadi  kebutuhan Kunthi dan Pandhawa.
  Disuatu pagi nan cerah, datanglah beberapa punggawa Pringgandani yang  diutus Prabu Arimba menemui Arimbi. Arimbi merasa dirinya telah  mengkianati perintah kakaknya. Maka dengan jujur Arimbi berkata kepada  utusan raja, bahwa ia tidak kuasa untuk berperang kepada orang yang  membunuh Prabu Dwaka, apalagi sampai mencelakainya, karena ia telah  jatuh cinta kepadanya.
  Dengan baik-baik Arimbi memerintahkan beberapa punggawa utusan, untuk pulang dan melaporkan kepada raja apa adanya.
  Prabu Arimba tak mampu mengendalikan emosinya, tatkala para punggawa  memberikan laporan tentang keberadaan Arimbi dan juga sikap Arimbi yang  telah membelot bersama musuh. Apalagi dalam laporan tersebut diungkapkan  pula, bahwa Bimasena pembunuh Prabu Dwaka adalah anak Pandudewanata.
  Braaak! Prabu Arimba memecah meja di depannya. Para punggawa gemetar  ketakutan. Suara gemuruh didada Prabu Arimba menimbulkan hawa panas.  Hawa panas tersebut memenuhi Balairung Negara Pringgandani.
  Arimbi adalah satu-satunya adik perempuan dan sangat dicintainya.  Namun ia sangat murka bilamana Arimbi jatuh cinta kepada anak  Pandudewanata yang telah membunuh ayahanda Prabu Tremboko.
  Semenjak naik tahta menggantikan Prabu Tremboko yang gugur di tangan  Pandudewanata, Prabu Arimba ingin mengadakan perhitungan dengan  Pandudewanata. Namun niat itu tidak kesampaian, dikarenakan  Pandudewanata telah meninggal di pertapaan. Namun setelah diketahui dari  laporan punggawa utusan, bahwa Pandudewanata mempunyai lima anak  laki-laki, Prabu Arimba akan mengadakan perhitungan dengan mereka.  Khususnya Bimasena yang sekaligus adalah pembunuh Prabu Dwaka,  saudaranya.
  Selagi bara dendam dihatinya mulai menyala kembali, Prabu Arimba  segera memerintahkan perajurit pengawal raja, untuk mengikutinya  memasuki hutan Waranawata, guna mengadakan perhitungan dengan Bimasena.
  Lima adik Raja Arimba yang kesemuanya laki-laki kecuali Arimbi, ikut  bersamanya. Mereka masing-masing adalah: Brajadenta, Brajamusti,  Brajawikalpa, Brajalamatan dan yang bungsu adalah Kala Bendana.
  Kemarahan Prabu Arimba belum juga reda. Ingin rasanya ia menghajar  Arimbi adiknya, yang telah berkhianat kepadanya, dengan mengabaikan  perintahnya. Pada awalnya Arimbi menyanggupi perintah kakanya untuk  mengadakan perhitungan dengan pembunuh Prabu Dwaka yang masih  saudaranya. Namun setelah melihat pelakunya yang bernama Bimasena,  Arimbi jatuh hati. Ia menjadi tak berdaya untuk melaksanakan perintah  kakaknya. Oleh karenanya dengan jujur Arimbi mengatakan kepada utusan  kakaknya bahwa Arimbi tidak mempunyai daya untuk melukai Bimasena,  terlebih membunuhnya.
 
Oleh karenanya Arimba ingin segera menuju ke hutan Waranawata untuk menghukum Arimbi dan kemudian membunuh Bimasena dan saudaranya.
 Oleh karenanya Arimba ingin segera menuju ke hutan Waranawata untuk menghukum Arimbi dan kemudian membunuh Bimasena dan saudaranya.
 Di siang yang terik, Prabu Arimba dengan diiringi beberapa pengawal  pilihan meninggalkan negara Pringgandani. Dadanya gemuruh karena  kemarahan. Akibatnya matanya memerah dan kedua tangannya bergetar. Para  pengawal tahu bahwa raja Arimba sedang dalam keadaan marah besar, dan  jika tidak hati-hati dalam melayaninya, sedikit saja membuat kesalahan  akan berakibat fatal.
  Di hutan Waranawata, Arimbi merasa cemas. Ia tahu bahwa kakaknya akan  sangat marah mendapat laporan utusannya, bahwa Arimbi telah jatuh hati  kepada musuhnya. Maka dari itu, sebelum Arimba sampai di tengah hutan,  tempat Kunthi dan anak-anaknya berada, Arimbi menyonsong kakanya di  pinggir hutan. Benarlah apa yang perkirakan Arimbi, dari kejauhan ia  melihat kakaknya yang diikuti beberapa pengawalnya menampakkan  kemarahannya. Maka dari itu, sebelum Prabu Arimba melampiaskan  kemarahannya, Arimbi mendahuluinya memeluk kakinya. Sembari menangis,  Arimbi memohon belaskasihan kepada Prabu Arimba.
  “Dhuh Kakanda Prabu, pada siapa lagi aku sesambat kalau bukan kepada  Kakanda Prabu yang menjadi silih orang tuaku. Jikapun aku harus mendapat  hukuman, hukumlah aku karena aku telah mengkianati Sang Raja. Bahkan  jikapun aku harus dihukum mati, aku rela menerimanya. Namun sebelumnya  aku akan mengatakan dengan sejujurnya bahwa aku sebagai wanita yang  sudah dewasa, sedang jatuh cinta kepada seseorang. Rasa kasmaran itu  tiba-tiba menyergapku. Dan aku tak kuasa melepaskannya. Walau aku tahu  bahwa ia yang telah membuatku jatuh cinta tersebut adalah musuh kita.  Kakanda Prabu salahkah aku?”
  Dada Prabu Arimba naik turun, nafasnya tidak beraturan. Kemarahannya  yang sudah mencapai puncak dicoba untuk ditahan. Sebetulnya dilubuk hati  yang paling dalam, Prabu Arimba sangat menyayangi satu-satunya adik  perempuannya. Sepeninggal ayahnya Prabu Tremboko, Prabu Arimba yang  kemudian naik tahta menyadari perannya sebagai pengganti orang tuanya.  Maka ketika Arimbi mengingatkan peran yang seharusnya diemban, kemarahan  Prabu Arimba berangsur-angsur mereda. Air mata Arimbi yang membasahi  kaki Prabu Arimba merambat naik dan menyiram dada yang panas gemuruh.
  Walaupun dada masih tetap membusung dan kedua tanganya masih berkacak  pinggang, tatapan mata Prabu Arimba mulai merunduk. Dipandanginya  adiknya yang masih menangis memeluk kakinya. Pelan-pelan rasa iba telah  menyusup di hatinya. Ia menyadari, bahwa adiknya telah tumbuh menjadi  dewasa, tanpa ditunggui orang tua, dan sekarang sedang jatuh cinta. Jika  saja prabu Tremboko masih hidup alangkah senangnya dia. Namun gara-gara  Pandu ia terpaksa meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil.
  Tiba-tiba Prabu Arimba berteriak lantang, “Bangsat Pandudewanata, engkau telah memisahkan aku dan adik-adikku  dengan ayahku. Terkutuklah engkau dan keturunanmu. Rama Prabu Tremboko,  akan aku habisi hari ini keturunan Pandu, agar engkau berdiam di alam  baka dengan damai..
  Prabu Arimba lari meninggalkan Arimbi, masuk hutan ingin membinasakan  keturunan Pandu. Belum jauh Prabu Arimba meninggalkan Arimbi, Bimasena  menghadang di jalan. Prabu Arimba terkejut dengan keberanian orang ini.  Apakah ini yang bernama Bimasena. Jika benar ini adalah Bimasena, pantas  jika adiknya jatuh cinta kepadanya.
  Sebelum terjadi perang tanding diantara keduanya, Arimbi telah  menyusul dan mengatakan kepada Arimba bahwa itu adalah Bimasena, dan  memohon agar sang Prabu tidak membunuhnya.
  Jeritan Arimbi yang melaranganya agar kakaknya tidak berperang kepada  Bimasena, justru membakar hati Arimba untuk segera menghabisi Bimasena.  Dengan tenaga yang berlebih, Arimba menerjang Bimasena. Sejenak  kemudian terjadilah perang tanding yang hebat.
  Perang tanding yang dahsyat antara Bimasena dan Prabu Arimba  berlangsung dipinggiran hutan Waranawata, disaksikan oleh Arimbi dan  para perajurit pengawal dari Pringgandani. Dalam perang tersebut Prabu  Arimba dan Bimasena saling mengeluarkan kesaktiannya. Daya kesaktian  diantara keduanya sampai menimbulkan debu tanah yang bergulung-gulung,  laksana awan mendung. Beberapa kali terjadi suara ledakan keras,  menggoncang beberapa ranting pohonan yang berada disekitarnya. Akibatnya  merontokan sebagian daun dan ranting pohon di hutan tersebut.
 
Melihat pertempuran yang kian sengit, Arimbi semakin cemas. Keringat dingin keluar dari sekujur tubuhnya. Ia kawatirkan jika salah satu diantaranya cidera atau bahkan mati. Oleh karenanya tak henti-hentinya ia berteriak, memohon agar peperangan dihentikan. Namun teriakan-teriakan Arimbi tak ada yang menghiraukannya. Perang tanding terus berlangsung. Bahkan semakin dahsyat.
 Melihat pertempuran yang kian sengit, Arimbi semakin cemas. Keringat dingin keluar dari sekujur tubuhnya. Ia kawatirkan jika salah satu diantaranya cidera atau bahkan mati. Oleh karenanya tak henti-hentinya ia berteriak, memohon agar peperangan dihentikan. Namun teriakan-teriakan Arimbi tak ada yang menghiraukannya. Perang tanding terus berlangsung. Bahkan semakin dahsyat.
 Mereka yang menyaksikan terpaksa menjauhi arena perang tanding.  Kecuali Arimbi yang tidak mau beranjak dari tempat semula. Ia begitu  dekat dengan mereka yang berperang. Ia tidak mempedulikan dirinya  sendiri. Ia lebih mencemaskan yang sedang berperang tanding. Baik itu  Arimba maupun Bimasena.
  Setelah peperangan berjalan beberapa lama, tiba-tiba Bimasena  terlempar keluar arena, dibarengi suara tawa yang menggelegar-glegar.  Arimbi segera mendekatinya, ditangisinya tubuh Bimasena yang tergeletak  lemas di tanah. Ia tahu bahwa tenaga Bima telah tersedot habis oleh ilmu  andalan yang dimiliki kakaknya.
  Arimbi tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan terhadap Bima untuk  memulihkan tenaganya. Namun ia tidak tega membiarkannya tubuh Bimasena  tergeletak sendirian. Dikipasinya Bimasena yang pucat pasi tak sadarkan  diri.
  Arimba memandangi adiknya, yang sedang menunggui musuhnya dengan  setia. Ada rasa iba dihatinya. Adiknya memang benar benar jatuh cinta  kepada Bimasena. Disadarinya bahwa, ada kuasa dari atas yang menghendaki  benih cinta itu bersemi di hati adiknya, dengan tanpa dapat ditolaknya.
  Diakui pula bahwa Bimasena bukan orang sembarangan. Tubuhnya yang  tinggi perkasa menjadi ideal jika berpasangan dengan raseksi Arimbi.  Demikian pula wajahnya dan kesaktiannya, pantaslah jika adiknya jatuh  cinta pada pandangan pertama.
  Namun sayang, bagi Arimba pesona Bimasena tidaklah mampu menutup luka  batin karena gugurnya Ramanda Prabu Tremboko dari tangan Pandu.ayah  Bimasena. Masih tergambar jelas peristiwa puluhan tahun lalu, ketika  Pandudewanata yang kala itu menjadi raja di Hastinapura, mengirim surat  tantangan kepada Ramanda Prabu Tremboko. Pada hal yang ia ketahui bahwa,  Prabu Pandudewanata adalah sahabat Ramanda Prabu Temboko.
  Walaupun Ramanda Prabu Arimba masih meragukan kebenaran surat  tantangan tersebut, Prabu Pandudewanata dan para perajurit terbaiknya  telah menggempur Pringgandani menyusul Patihnya, Gandamana yang lebih  dahulu menyerang Pringgandani.
  Perang yang tidak jelas penyebabnya pun akhirnya terjadi. Dan bahkan  menjadi perang yang sangat hebat, antara dua negara besar yaitu  Hastinapura dan Pringgandani. Dalam catatan sejarah perang besar  tersebut dinamakan dengan Perang Pamukswa.
  Di dalam perang Pamukswa itulah Rama Prabu Tremboko Gugur di tangan  Pandudewanata. Aku sangat terpukul karenanya. Sebagai anak tertua aku  harus bertanggungjawab atas kerusakan bangunan negara Pringgandani,  serta para perajurit yang tercerai berai dan menjadi korban. Dalam  kondisi yang belum siap, sembari melakukan pembenahan di sana-sini,  Ibunda Ratu menyarankan agar aku menduduki tahta Pringgandani.
  Maka tidak lama dari waktu gugurnya Prabu Tremboko, aku naik tahta  disaksikan oleh seluruh kekuatan Pringgandani yang masih tersisa. Dalam  acara resmi penobatanku, aku berjanji akan mengadakan perhitungan dengan  Pandudewanata. Tepuk tanganpun bergemuruh mendukung tekadku.
  Kini aku telah berhadapan dan berperang tanding dengan keturunan  Pandu, dan sekarang ia dalam tak berdaya dihadapanku. Jika aku berniat  membunuhnya, ibaratnya tinggal membalikan tangan. Tetapi aku tidak mau  melakukannya. Karena jika aku lakukan, artinya aku tidak berwatak  kesatria. Walaupun wujudku adalah raksasa, di dalam hatiku telah  terpatri watak kesatria yang diajarkan dan diteladankan oleh Ramanda  Prabu Tremboko. Maka aku akan menunggu kekuatan Bimasena pulih, dan  kembali bertanding denganku.
  Bimasena anak nomor dua yang lahir dari Ibunda Kunthi tersebut  sesungguhnya bukanlah anak Pandudewanata. Ia adalah anak dari Dewa Bayu.  Dewa yang berkuasa atas angin. Berkaitan dengan hal tersebut, secara  tidak sengaja apa yang dilakukan oleh Arimbi untuk memulihkan tenaga  Bimasena dengan cara dikipasi adalah tepat. Karena melalui angin yang  menerpa wajah Bima, Dewa Bayu telah membelai putranya dan memulihkan  tenaganya.
   Maka sebentar kemudian, setelah Arimbi mengipasi Bima, kekuatannya  pulih kembali seperti semula, dan bahkan menjadi semakin segar. Bimasena  kemudian meloncat untuk menghampiri Prabu Arimba.
   Berkat pertolongan Arimbi tubuh Bima yang lunglai karena tersedot  oleh limu Arimba telah pulih kembali. Ia bangun dan menghampiri Arimba.  Kini keduanya siap melanjutkan perang tanding. Sebentar kemudian perang  tanding babak kedua terjadi. Lagi-lagi tenaga Bima cepat menyusut,  sedangkan tenaga Arimba malah semakin bertambah.
 
Arimbi dapat memahami apa yang dilakukan Arimba kakanya, bahwa untuk menghadapi lawan setangguh Bima tiada pilihan lain kecuali mengeluarkan ilmu andalan Pringgandani yang khusus diwariskan kepada pemegang tahta. Ilmu andalan tersebut mempunyai daya sedot tenaga lawan. Proses penyedotan berlangsung pada saat terjadi benturan badan. Maka semakin sering dan semakin cepat badan beradu, akan semakin cepat pula tenaga tersedot.
 Arimbi dapat memahami apa yang dilakukan Arimba kakanya, bahwa untuk menghadapi lawan setangguh Bima tiada pilihan lain kecuali mengeluarkan ilmu andalan Pringgandani yang khusus diwariskan kepada pemegang tahta. Ilmu andalan tersebut mempunyai daya sedot tenaga lawan. Proses penyedotan berlangsung pada saat terjadi benturan badan. Maka semakin sering dan semakin cepat badan beradu, akan semakin cepat pula tenaga tersedot.
 Demikian yang terjadi pada diri Bima, tenaganya cepat menyusut tanpa  diketahui penyebabnya. Hanya beberapa saat setelah perang tanding babak  ke dua berlangsung, Bima sudah kehabisan tenaga. Ia tak mampu lagi  melanjutkan perang tanding. Ia heran dengan apa yang terjadi pada  dirinya. Semakin ia bernafsu melumpuhkan lawannya, semakin cepat  tenaganya hilang.
  Kesedihan menggumpal di hati Bima. Sedhih bukan karena ia takut kalah  dan takut mati, melainkan ia meratapi mengapa dirinya tidak mampu  berbuat banyak.
  Dengan tenaga yang masih tersisa, ia mencoba berteriak memberi khabar  kepada Ibu dan saudara-saudaranya, untuk pamit mati. Namun dikarenakan  tenaganya sangat lemah, tidak ada teriakan, yang ada adalah rintihan  kekalahan yang hampir tak terdengar.
  “Ibu Kunthi aku kalah. Aku pamit mati. Anakmu tidak berdaya, tidak  dapat berbuat apa-apa lagi. Kunthi Ibuku aku mohon ampun, Punta kakakku  dan adik-adikku maafkan aku.”
  Matahari di ujung kulon semakin redup sinarnya. Sebentar lagi ia akan  masuk keperaduan. Seakan-akan ia sengaja meninggalkan Bimasena karena  tak sampai hati melihat orang terkuat di Pandhawa itu jatuh dalam  ketidak berdayaan.
  Sementara itu, Arimba yang melihat Bima tidak berdaya, hanya tertawa  ringan. Ia tidak melakukan tindakan apapun juga terhadap lawannya yang  sudah tidak berdaya. Arimba masih mencoba menghidupi jiwa kesatrianya,  seperti yang diteladankan ayahnya Prabu Tremboko. Ia meninggalkan  musuhnya dalam ketidak berdayaan, untuk memberi kesempatan memulihkan  tenaganya.
  Malam merambat pelan, sayup-sayup terdengar kidung pilu ditengah  gulitanya hutan. Kunthi Puntadewa, Arjuna dan si kembar Nakula Sadewa  berada dalam kecemasan. Mereka menanti Bima yang tak kunjung datang.  Arjuna diutus menerobos lebatnya pepohonan dalam malam yang pekat, untuk  menemukan Bima.
  Pada waktu yang bersamaan dengan usaha Arjuna mencari Bima. Arimbi  mendekati Bima dengan hati-hati. Disadarinya bahwa Bima tidak menyukai  dirinya, membenci raut mukanya yang berparas raseksi. Namun Arimbi tahu  bahwa Bima tak kuasa mengusirnya atau bahkan meninggalkan dirinya.  Seperti ketika dikipasi dengan daun jati, Bima hanya pasrah.
  Setelah berada disamping Bima, Arimbi melakukan hal yang sama,  seperti yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu mengipasi wajah Bima.  Karena dengan cara demikian tenaga Bima cepat pulih. Walaupun Arimbi  heran, mengapa semudah dan secepat itu tenaga Bima pulih, ia tidak  menemukan jawabannya.
  Tidak seorangpun tahu kecuali Bima, bahwa pada saat Arimbi meniupkan  anginnya ke wajah Bima melalui kipas, Dewa Bayu, datang bersamaan  semilirnya angin malam, mengusap tubuh Bima sehingga menjadi kuat dan  segar.
  Bima segera meloncat berdiri dan siap untuk bertempur. Namun hari  telah gelap, dan Arimba musuhnya tidak ada di depannya, yang ada  hanyalah Arimbi si raseksi yang ia benci. Segeralah Bima meninggalkan  tempat itu untuk menghindari Arimbi yang menjijikan.
  Bima ingin menemui Kunthi dan saudara-saudaranya, sembari menunggu  mentari pagi untuk meneruskan perang tanding melawan Arimba. Disepanjang  langkahnya, Bima mencoba mengingat-ngingat apa yang terjadi pada saat  berperang tanding melawan Arimba? Ia heran mengapa tenaganya cepat  menjadi susut? Namun Bima tidak menemukan jawabannya.
  Belum jauh Bima meninggalkan Arimbi yang diam tak bergerak,  bertemulah ia dengan Arjuna adiknya, keduanya berlangkulan lega. Untuk  kemudian bersama-sama menuju ke tempat Ibu Kunthi dan saudara-saudaranya  berada.
  Diwaktu yang sama Arimbi menemui kakaknya Prabu Arimba di kemah pinggir hutan.
  “Kakanda Prabu, tidak lebih baikkah jika Kakanda berdamai dengan  Bimasena.?” Prabu Arimba tidak segera menjawab. Hatinya sesak dan marah  terhadap pertanyaan Arimbi. Bukankah adiknya tahu bahwa ketika upacara  wisuda raja, aku bersumpah dihadapan rakyat Pringgandani, bahwa aku akan  menagih hutang nyawa kepada Pandudewanata.
  “Aku masih ingat, pada waktu penobatan raja, Kakanda berjanji akan  mengadakan perhitungan hanya dengan Pandudewanata, tidak kepada  anak-anaknya. Bimasena adalah anaknya. ia tidak berdosa, berdamailah  dengannya Kakanda”
  Benar juga kata Arimbi. Bima tidak bersalah, ayahnya yang bersalah.  Tetapi ayahnya sudah meninggal. Tidak mungkin mengadakan perhitungan  dengan orang yang sudah mati. Yang mungkin dilakukan adalah mengadakan  perhitungan dengan yang masih hidup. Dan wajarlah jika kesalahan dan  dosa orang tuanya ditimpakan kepada anaknya. Seperti halnya kepopuleran,  kehormatan dan nama baik orang tua, anaknyalah yang ikut merasakan  keuntungannya.
  “Arimbi aku sudah bersumpah akan mengadakan perhitungan dengan  Pandudewanata. Dengan darahnya yang masih mengalir di dalam pribadi  anak-anaknya. jika engkau lebih menyayangi Bimasena, berpihaklah  kepadanya dan lawanlah aku.”
  Arimbi menangis. Ia tidak dapat memilih diantara ke duanya. Ia  menghormati dan mencintai Arimba sebagai pengganti orang tuanya. Tetapi  ia jatuh cinta kepada Bimasena.
  Arimba habis kesabarannya. Adik yang sesungguhnya ia cintai tersebut  diusir dari hadapannya. Dengan terisak Arimbi meninggalkan Arimba.  Arimba menatap kepergian Arimbi dengan dingin. Hingga gelap malam  menelan bayangnya.
  Tatkala pagi tiba, Arimbi sudah berada di halaman rumah kayu tempat  Kunthi dan ke lima anaknya tinggal. Bima menampakan wajah gelap. Tidak  senang atas kehadiran Arimbi. Maka kemudian Arimbi diusirnya. Kunthi  merasa kasihan kepada Arimbi.
  “Sena anakku, jangan memperlakukan sesamamu tidak dengan hormat dan  merendahkan martabatnya. Kalau pun engkau tidak senang jangan begitu  caranya.”
  “Ibunda, sejak awal aku sudah mengatakan tidak senang, tetapi ia selalu membuatku risih dan jijik.”
  Memang akhirnya Kunthi dapat ikut merasakan apa yang dirasakan Bima,  maka disarankannya agar Arimbi untuk sementara menjauhi tempat itu.
  Matahari belum begitu tinggi.Prabu Arimba bergegas mendatangi  Bimasena untuk segera membinasakan.anak-anak Pandu. Gara-gara Arimbi,  perang tak kunjung usai. Maka kali ini naluri raksasanya lebih diberi  tempat jika dibandingkan dengan sifat kesatrianya. Dengan keganasannya  ia ingin secepatnya membinasakan semua keturunan Pandu sebelum matahari  sepenggalah.
  Bima cukup terkejut dan belum siap mendapat serangan mendadak dari  Prabu Arimba. Beruntung ia masih sempat menghindar kesamping dan  menusukkan Kuku Pancanaka ke dada Prabu Arimba. Namun dada tersebut  sangat ulet, tidak mampu ditembus Kuku Pancanaka. Arimba tak mau  melepaskan lawannya, segera ia menyusul dengan serangan berikutnya
  Perang dahsyatpun terjadi lagi. Mereka saling serang dan  masing-masing berusaha untuk menjatuhkan lawannya. Kunthi, Puntadewa,  Harjuna, Nakula dan Sadewa, termasuk juga Arimbi cemas dibuatnya.  Sedangkan para pengawal Pringgandani. tenang-tenang saja. Bahkan  sesekali diantara mereka melempar senyum ejekan kepada kubu Bimasena.
  Arimba mulai mengetrapkan ajian andalannya, maka setahap demi setahap  tenaga Bima tersedot. Semakin banyak tenaga yang dikeluarkan semakin  banyak pula tenaga yang tersedot.
  Perang tanding antara Prabu Arimba dan Bimasena tidak banyak  mengalami perubahan dibandingkan perang tanding sebelumnya. Ketika Prabu  Arimba mulai mengetrapkan ajian andalanya yang dapat menyedot tenaga  lawan, maka kekuatan Bimasena susut dengan cepat. Tidak hanya itu,  selain dapat menyedot tenaga lawan, ajian andalan Prabu Arimba  menjadikan kulitnya alot seperti janget, tidak luka oleh segala macam  senjata tajam, termasuk juga kuku Pancanaka.
 
Bima menyadari bahwa lawannya mulai mengetrapkan ajian andalannya, yang dapat mencuri tenaga lawan dengan tidak diketahui dan dirasakan oleh lawannya. Dua kali Bima menjadi korban ajian tersebut, sehingga ia kehabisan tenaga di peperangan. Untunglah, pada saat itu Arimba tidak mengabiskan Bima pada saat Bima tak berdaya. Namun untuk perang tanding yang ke tiga ini, jauh berbeda dengan perang tanding sebelumnya. Prabu Arimba tidak lagi menampakkan sifat kesatrianya, tetapi menonjolkan naluri raksasa yang ganas. Sepak terjangnya tidak lagi tenang dan mantap, tetapi kasar dan nagwur. Maka jika kali ini Bima sampai kehabisan tenaga di peperangan, pastilah Arimba akan melumatkannya. Bima tidak mau jatuh di peperangan melawan Arimba untuk ke tiga kalinya. Oleh karenanya Bima telah mempelajari bagaimana cara menghadapi ilmu andalan Prabu Arimba, yaitu dengan mengurangi sentuhan langsung dengan badan Arimba. Terlebih pada saat mengeluarkan tenaga besar, karena tenaga yang akan tersedot juga besar.
 Bima menyadari bahwa lawannya mulai mengetrapkan ajian andalannya, yang dapat mencuri tenaga lawan dengan tidak diketahui dan dirasakan oleh lawannya. Dua kali Bima menjadi korban ajian tersebut, sehingga ia kehabisan tenaga di peperangan. Untunglah, pada saat itu Arimba tidak mengabiskan Bima pada saat Bima tak berdaya. Namun untuk perang tanding yang ke tiga ini, jauh berbeda dengan perang tanding sebelumnya. Prabu Arimba tidak lagi menampakkan sifat kesatrianya, tetapi menonjolkan naluri raksasa yang ganas. Sepak terjangnya tidak lagi tenang dan mantap, tetapi kasar dan nagwur. Maka jika kali ini Bima sampai kehabisan tenaga di peperangan, pastilah Arimba akan melumatkannya. Bima tidak mau jatuh di peperangan melawan Arimba untuk ke tiga kalinya. Oleh karenanya Bima telah mempelajari bagaimana cara menghadapi ilmu andalan Prabu Arimba, yaitu dengan mengurangi sentuhan langsung dengan badan Arimba. Terlebih pada saat mengeluarkan tenaga besar, karena tenaga yang akan tersedot juga besar.
 Selain mengurangi benturan langsung, Bima mengetrapkan ajian  Angkusprana, angkus artinya kait dan prana artinya nafas atau angin.  Dengan mengetrapkan aji angkusprana, Bima dapat mengkait dan menghimpun  kekuatan angin dari Sembilan saudara tunggal bayu termasuk dirinya,  yaitu: Dewa Bayu, Dewa Ruci, Anoman, Wil Jajagwreka, Gajah Situbanda,  Naga Kuwara, Garuda Mahambira, dan Begawan Mainaka. Sembilan kekuatan  angin yang dihimpun menjadi satu, membuat tenaga Bima mampu bertahan dan  mengimbangi aji andalan Arimba. Sehingga perang tanding semakin panjang  dan rame. Namun satu hal yang menggelisahkan Bima, bahwa Prabu Arimba  tidak dapat luka oleh kuku pusaka Bimasena.
  Menjelang tengah hari, Prabu Arimba meningkatkan serangannya dan  sangat berambisi untuk segera menghabisi Bima. Bima kesulitan membendung  serangannya dan mulai terdesak. Hantaman, tendangan dan gigitan acap  kali menghampiri tubuh Bima. Hingga pada akhirnya Prabu Arimba berhasil  menguasai Bimasena. Pada saat Bima akan dihabisi, tepat matahari  bertahta pada puncaknya, Arimbi berteriak nyaring
  “Bima! Tusuk pusarnya!!”
  Keduanya sama-sama terkejut. Arimba memandang adiknya dengan ekspresi  kemarahan. Jahanam Arimbi! engkau bocorkan titik kelemahanku. Sehabis  hatinya mengumpat adiknya, Arimba memandang ke langit, kearah matahari  yang persis berada di atas kepalanya. Pada saat itulah, Bima yang berada  dalam cengkeramannya memanfaatkan kesempatan. Kuku ditangan Bima modot,  muncul keluar dan segeralah ditusukkan di pusar Arimba. Raja raksasa  sebesar anak gunung menggerang keras.. Bima kemudian menarik kukunya dan  menjauhi lawannya.
  Pusar Arimba menganga karena luka. Ia berjalan sempoyongan mendekati  Arimbi adiknya. Bumi bergetar-getar karena langkahnya yang berat. Arimbi  sangat kecemasan. Ia menanti dan pasrah apa yang akan dilakukan  kakaknya, untuk menebus kesalahannya. Kunthi juga mencemaskan  keselamatan Arimbi dan memberi isyarat kepada Arjuna untuk waspada.  Semua mata tertuju kepada Arimba yang semakin gontai mendekati Arimbi.
  Ketika tepat berada di depan Arimbi, raja Raksasa yang tinggi besar  tersebut jatuh bertumpu pada dua tangan dan lututnya. Dugaan mereka yang  mengamati peristiwa itu meleset. Prabu Arimba tidak menumpahkan  kemarahannya kepada Arimbi. Dengan nada berat dan patah-patah ia  berpesan kepada Arimbi, untuk menitipkan Negara Pringgandani dan  merestui hubungannya dengan Bima yang sakti perkasa dan kesatria.
  Tangis Arimbi memecah hutan Waranawata, mengiring gugurnya Kakanda  Prabu Arimba, pengganti orang tuanya yang ia hormati dan cintai. Arimbi  sangat bersedih, dirinya merasa berdosa, atas kepergian Kakanda Arimba  ke alam keabadian
  Siang hari itu, di saat matahari sedikit bergeser dari puncaknya,  para pengawal Pringgandani membawa pulang rajanya yang sudah tidak  bernyawa. Mereka tidak berani mengganggu Arimbi yang telah diwarisi  kekuasaan Negara Pringgandani secara lesan oleh Prabu Arimba.
  Sepeninggalnya para pengawal Pringgandani, Kunthi mendekati Arimbi,  yang telah menyelamatkan nyawa Bimasena dan saudara-saudaranya. Sebagai  tanda terimakasihnya, Kunthi membisikan mantra sakti ditelinganya.  Dengan sepenuh hati Arimbi mendengarkan dan mngucapkan apa yang  dibisikan Kunthi.
  Sebentar kemudian keajaiban terjadi, Arimbi si raseksi perempuan  berubah menjadi putri cantik, berkulit kuning langsat dengan postur  tubuh yang tinggi besar. Naluri lelaki Bima terpana, ia mendekati Arimbi  dan Arimbi pun segera menghaturkan sembah.
  Semua mata memandang keduanya, dalam hati mereka berkata sungguh mereka adalah pasangan yang pantas dan ideal.
   Bima menundukkan kepalanya untuk menatap Arimbi yang bersimpuh  menyembah dan memeluk kaki Bima. Raseksi Arimbi yang sudah menjelma  menjadi seorang wanita nan cantik menawan mampu membuat Bima terpana.  Jika menuruti nalurinya sebagai lelaki, Bima ingin membungkuk, memegang  ke dua pundak Arimbi untuk diangkatnya dan kemudian dipeluknya  erat-erat, agar payudaranya menghangatkan dadanya. Jika hal itu yang  dilakukan, dapat dipastikan bahwa Arimbi bakal menyambut hangat pelukan  Bima. Dikarenakan Arimbilah yang pada awal mula jatuh cinta kepada Bima.
 
Namun gejolak keinginan Bima tidak dengan serta merta dituruti. Sebagai seorang kesatria Bima berusaha untuk menjaga citranya. Maka dibiarkannya tangan Arimbi memeluk kakinya. Tidak seperti sebelumnya ketika masih berujud rakseksi, Bima merasa jijik dan selalu menghindari Arimbi.
 Namun gejolak keinginan Bima tidak dengan serta merta dituruti. Sebagai seorang kesatria Bima berusaha untuk menjaga citranya. Maka dibiarkannya tangan Arimbi memeluk kakinya. Tidak seperti sebelumnya ketika masih berujud rakseksi, Bima merasa jijik dan selalu menghindari Arimbi.
 Kunthi, Puntadewa, Arjuna, Nakula dan Sadewa memandangi keduanya  dengan perasaan senang. Dalam hati mereka sepakat bahwa pasangan  Bimasena dan Arimbi merupakan pasangan yang serasi. Mereka juga  bersyukur karena Bimasena tidak lagi membenci Arimbi yang telah banyak  membatu Kunthi dan para Pandawa.
  Arimbi merasa lega karena sembahnya diterima Bima. Titik terang mulai  memancarkan harapan bahwa cinta Arimbi bakal diterima Bima. Ketika  harapan mulai terbuka, Arimbi memberanikan diri untuk maju selangkah  lagi dengan melakukan ngaras pada yaitu mencium kaki Bima. Ketika bibir  Arimbi menyentuh kaki Bima, seluruh tubuh Bima bergetar, terutama detak  jantungnya yang berdetak semakin cepat. Untuk menormalkan kembali detak  jauntungnya, Bima memegang kedua pundak Arimbi, untuk di tarik ke atas,  agar bibir yang basah bak delima merekah tidak lagi menempel dikaki  Bima. Arimbi menuruti pundaknya diangkat Bima untuk berdiri berhadapan  dengan Bima. Ke dua pasang mata saling menatap. Entah apa yang terbaca  di palung hati mereka yang terdalam.
  Hari-hari selanjutnya, Arimbi mengikuti penggembaraan Kunthi dan  Pandawa di hutan Waranawata. Hubungan Arimbi dan Bima semakin intim.  Kunthi mencoba membaca perasaan anak-anaknya selain Bima, terutama  Puntadewa, apakah ada sesuatu yang mengganjal dihatinya melihat semakin  dekatnya hubungan Bima dan Arimbi.
  Untuk memastikannya Kunthi menemui Puntadewa secara khusus.
  “Puntadewa anakku, seperti yang kita lihat bersama bahwa pertemuannya  Bima dan Arimbi bukan aku yang merencana. Demikian kedekatan mereka  yang semakin dekat bukan pula karena aku.”
  “Aku paham Ibunda Kunthi, bahwa semuanya itu telah diatur oleh Sang Hyang Widiwasa”
  “Jika demikian tentunya engkau sebagai saudara sulung rela dan ikhlas seandainya adikmu Bima akan mempunyai dua isteri.”
  “Sungguh Ibunda Kunthi aku rela dan ikhlas.”
  Kunthi lega mendengar pernyataan Puntadewa, walaupun dibalik kelegaan ada rasa kasihan terhadap Puntadewa.
  Hari berikutnya seluruh anggota keluarga termasuk Arimbi dikumpulkan  oleh Kunthi. Hal tersebut dilakukan demi membicarakan hubungan Bima dan  Arimbi. Pada kesempatan tersebut Kunthi menghendaki agar hubungan antara  Bima dan Arimbi diresmikan menjadi suami isteri. Mengingat bahwa  diantara keduanya telah terjalin benang asmara yang sedang bertumbuh,  saling mengikat dan saling membutuhkan, sehingga jika dipisahkan akan  melukai keduanya.
  Semua saudara Bima menyetujui kehendak ibu Kunthi. Maka segera  setelah memilih hari yang baik bagi pasangan Bima dan Arimbi, mereka  diresmikan sebagai suami isteri dengan selamatan yang sederhana.
  Perkawinan Bima dengan Arimbi yang adalah bangsa raksasa menyusul  perkawian Bima dengan Nagagini yang adalah bangsa ular merupakan wujud  bahwa Pandawa Lima bisa manjing ajur ajer, luluh menjadi satu dengan  semua golongan manusia. Bima kesatria yang gagah perkasa patuh,  sederhana, berani, sakti, dan jujur memang pantas menjadi idaman banyak  wanita. Oleh karena kejujuran dan kesederhanaannya Bima tak pernah  berpikir yang macam-macam, tak pernah menolak dengan apa yang memang  sudah menjadi tugasnya dan kewajibannya.. Hidup ini dijalaninya dengan  apa adanya, mung saderma nglakoni hanya sebatas menjalani saja, karena  sudah ada yang mengatur. Bagaikan air, Bima mengalir begitu saja sesuai  dengan kehendakNya. Oleh karenanya ketika dipertemukan dengan Arimbi  yang cantik Bima tak kuasa menolaknya.
  Dengan pemahaman tersebut Bima tidak merasa bersikap kurang ajar  terhadap Puntadewa kakaknya yang telah dua kali dilangkahi. Bima juga  tidak merasa mengkianati Nagagini pada saat ia bercengkerama dengan  Arimbi.
  Sedangkan dipihak Arimbi Bima adalah segalanya. Hidup bersanding  dengan Bima ibarat kejatuhan bulan di saat purnama, mendapat  keberuntungan penuh. Oleh karenanya Arimbi tega mengorbankan Arimba  Kakaknya demi cintanya kepada Bima.
  Namun walaupun Arimbi telah bahagia bersanding dengan pujaan hati,  hatinya sedih juga saat mengingat gugurnya Arimba yang sangat menyayangi  dirinya. Sesungguhnya Arimbi tidak rela kalau dianggap membunuh kakanya  melalui kekasihnya. Yang dilakukan adalah membela yang lemah tak  berdaya. Jika akhirnya yang terjadi adalah kematian Kakaknya, itu  sungguh diluar perhitungannya. Arimbi tahu bahwa jika Prabu Arimba  ditusuk pusarnya ia akan lemas untuk sementara sehingga Bima dapat  melepaskan cengkeramannya. Namun ia tidak tahu bahwa pada saat Arimbi  berteriak “tusuk pusarnya” tepat pada saat bedug tengange, saat mata  hari berada persis dipuncak ketinggian. Saat itulah kulit Arimba menjadi  lunak seperti gethuk dan dengan mudah dikoyak dengan benda tajam.  Dengan pembenaran tersebut Arimbi memperoleh keringanan beban hatinya.
  Beberapa bulan berlalu, Bima dan Arimbi menjalani masa bualan madu.
  “Kakanda Bima aku sunguh bahagia karena benih dari buah cinta kita  berdua telah tumbuh di rahimku. Aku mendambakan anak laki-laki, agar  nantinya dapat mewarisi Negara Pringgondani. Apakah Kanda Bima setuju?”  tanya Arimbi manja. Bima menganguk-angguk sembari membetulkan posisi  duduknya, agar Arimbi tidak jatuh dari pangkuannya. Angin hutan meniup  perlahan mengusap sekujur tubuh mereka yang berpasihan.
 Kidung Malam
Herjaka HS




