Ikan Sidat, Komoditas Unggulan Yang Terlupakan
Sidat (Anguilla spp), merupakan komoditas perikanan ini belum banyak dikenal orang. Padahal, hewan yang mirip dengan belut ini memiliki potensi luar biasa sebagai komoditas dalam negeri maupun ekspor. Saat ini, permintaan ekspor sidat terus meningkat. Harga jualnya juga mencengangkan. Ikan sidat merupakan salah satu jenis ikan yang laku di pasar internasional (Jepang, Hongkong, Belanda, Jerman, Italia dan beberapa negara lain), dengan demikian ikan ini memiliki potensi sebagai komoditas ekspor. Di Indonesia sendiri, sumberdaya benih cukup berlimpah. Setidaknya, terdapat empat jenis sidat, yaitu Anguilla bicolor, Anguilla marmorata, Anguilla nebulosa, dan Anguilla celebesensis.
Secara kasat mata, ikan sidat memiliki bentuk yang menyerupai belut. Secara fisik belut memiliki bentuk kepala lancip dan bulat, sedangkan ikan sidat ini mempunyai bentuk kepala segitiga, badan berbintik-bintik, dan ekor yang mirip ekor lele. Sidat juga bukan belut berkuping. Karena, yang selama ini dianggap telinga, sebenarnya adalah sirip. Dilihat dari ukurannya, panjang tubuh belut akan mentok di kisaran 60 cm. Sedangkan panjang sidat berkisar 80 cm−125 cm. Bobot terberat binatang ini juga bisa menyentuh angka 1 kg. Bahkan, di Pulau Enggano, Propinsi Bengkulu pernah ditemukan ikan sidat dengan berat sampai 10 kg.
Selain memiliki pasar ekspor yang potensial, ikan sidat sendiri memiliki kandungan vitamin yang tinggi. Hati ikan sidat memiliki 15.000 IU/100 gram kandungan vitamin A. Lebih tinggi dari kandungan vitamin A mentega yang hanya mencapai 1.900 IU/100 gram. Bahkan kandungan DHA ikan sidat 1.337 mg/100 gram mengalahkan ikan salmon yang hanya tercatat 820 mg/100 gram atau tenggiri 748 mg/100 gram. Sementara kandungan EPA ikan sidat mencapai 742 mg/100 gram, jauh di atas ikan salmon yang hanya 492 mg/100 gram dan tenggiri yang hanya 409 mg/100 gram. Dengan fakta seperti itu, maka membudidayakan ikan sidat selain mempunyai potensi pasar yang menjanjikan juga bisa memberikan jaminan gizi kepada orang yang mengkonsumsinya.
Namun, saat ini di Indonesia sumberdaya ikan sidat belum begitu banyak dimanfaatkan seperti halnya di Jepang ataupun Negara Eropa lainnya. Padahal di berbagai wilayah di Indonesia ukuran benih maupun ukuran konsumsi ikan ini jumlahnya cukup melimpah. Tingkat pemanfaatan ikan sidat secara lokal juga masih sangat rendah, akibat belum banyak dikenalnya ikan ini, sehingga kebanyakan penduduk Indonesia belum familiar untuk mengkonsumsi ikan sidat. Demikian pula pemanfaatan ikan sidat untuk tujuan ekspor masih sangat terbatas.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membudidayakan ikan sidat antara lain:
a. Suhu. Pada pemeliharaan benih Ikan Sidat lokal, A. bicolor bicolor, suhu terbaik untuk memacu pertumbuhan adalah 29°C.
b. Salinitas. Pada pemeliharaan Ikan Sidat lokal, A. bicolor bicolor (elver), salinitas yang dapat memberikan pertumbuhan yang baik adalah 6 – 7 ppt.
c. Oksigen Terlarut. Kandungan oksigen minimal yang dapat ditolelir oleh Ikan Sidat berkisar antara 0,5 – 2,5 ppm.
d. pH. pH optimal untuk pertumbuhan Ikan Sidat adalah 7 – 8.
e. Amonia (N H3- N) dan Nitrit (NO2-N). Pada konsentrasi amonia 20 ppm sebagian Ikan Sidat yang dipelihara mengalami methemoglobinemie dan pada konsentrasi 30 – 40 ppm seluruh Ikan Sidat mengalami methemoglobinemie.
f. Kebutuhan nutrient. Seperti halnya jenis ikan-ikan lain, Ikan Sidat membutuhkan zat gizi berupa protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Kadar protein pakan optimal adalah 45% untuk ikan bestir (juvenil) dan sekitar 50% untuk ikan kecil (fingerling).
Sumber : http://bisnisukm.com